
Rapat Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Blitar terkait Baitul Arqam memunculkan dua opsi:
Apakah akan digelar di sebuah Masjid yang punya gedung sekolahan (TK), atau di suatu penginapan.
Jika di Masjid, kegiatan ibadah bisa lebih terakomodir, termasuk shalat malam yang dalam konsep Baitul Arqam (bukan secara fiqh) wajib ada.
Jika di penginapan (bukan hotel) mungkin ada kendala tempat ibadah, meski bisa disiasati dengan mengubah forum jadi tempat shalat berjamaah, kultum dan tilawah.
Namun, khawatir jika dianggap terlalu mewah, di penginapan, tidur di kasur empuk. Kenapa tidak di sekolah saja, ruang-ruang kelas disulap sementara jadi tempat tidur, menggelar tikar.
Khawatir jika ada ayahanda yang bilang begitu, dan konon ada.
Opsi penginapan dipilih dengan segala konskwensinya, anggaran lebih mahal. Namun, peserta akan menjalani Baitul Arqam lebih layak, tidur nyaman dan makan enak; prasmanan dengan 3 variasi menu yang berbeda.
Agar apa? Mereka senang mengikuti kegiatan Pemuda Muhammadiyah, dan selanjutnya bisa terus aktif di Muhammadiyah, terkhusus di Pemuda Muhammadiyah.
Jika tidur di kelas-kelas, takutnya ada yang masuk angin, badan sakit semua karena tubuh beradu langsung dengan beton.
Lalu kapok, dan tidak mau lagi aktif di Muhammadiyah. Panitia sangat memikirkan itu meski resikonya harus bersusah payah mengais dana.
***
Sekitar satu dekade silam, sebuah pamflet tertempel di beberapa sudut kampus, informasinya:
Ikutilah Darul Arqam Dasar (DAD) IMM, selama 3 hari. Fasilitas: makan 5x, snack, handbook, penginapan di Kota Batu, ilmu bermanfaat, dan teman-teman yang menyenangkan. HTM: Rp35.000,-
Tentu ini sangat menggiurkan, sekaligus bisa menghemat kantong mahasiswa, dengan bayangnya menginap di Kota Batu dengan view pegunungan yang menawan, sekalian liburan.
Ternyata … itu di sebuah balai desa. Balainya jadi lokasi acara, tidurnya di kelas-kelas TK, di atas karpet-karpet berdebu.
Tidur hanya beberapa jam, dibangunkan sepertiga malam dengan tubuh menggigil, telapak kaki dingin seperti es. Jaket dan sarung yang berubah menjadi selimut tak cukup berdampak melawan dinginnya kawasan Bumiaji.
Ada yang berseloroh: mampus kau dikibulin pamflet.
Betapa tersiksanya jadi peserta DAD, dan ternyata lebih tersiksa lagi jadi panitia atau instruktur DAD setahun kemudian. Tidur paling akhir dan bangun paling awal, bahkan ada yang tidak tidur selama 2 hari.
Para peserta digembleng materi KeMuhammadiyahan, Teologi Al Maun, Ke-IMMan, dll. Dievaluasi sangat ketat dengan Jelajah Malam, melintas sawah hingga kuburan, dan baru dikukuhkan jelang subuh.
Selamat datang di IMM, kalian adalah kader-kader terpilih, ucap MOT/ketua instruktur.
Anehnya, lewat proses itulah, kader-kader militan dari Malang tumbuh, menyebar ke daerahnya masing-masing, dan kini menjadi “roda” Muhammadiyah setempat.
***
Seseorang bertanya: apakah Baitul Arqam Ortom berbeda dengan Baitul Arqam AUM?
Pertanyaan itu muncul karena AUM menggelar Baitul Arqam di sebuah hotel berbintang.
Mungkinkah AUM menggelar Baitul Arqam di penginapan sederhana, atau di kelas-kelas sekolah?
Jangan, nanti kalau mereka kapok kerja di AUM, terus resign, bagaimana nasib AUM?
Sama seperti, kenapa Pemuda Muhammadiyah tidak menggelar Baitul Arqam di kelas-kelas sekolah taman kanak-kanak saja?
Jangan, nanti kalau mereka kapok di Pemuda, terus keluar atau tidak aktif, bagaimana nasib Pemuda Muhammadiyah?
Pertanyaannya: lebih banyak mana yang mau mendaftar ke AUM atau Pemuda Muhammadiyah?
Namanya kader ya harus berjuang, gulung koming, jangan ngeluh. Bisa menggelar Baitul Arqam di penginapan saja sudah syukur Alhamdulilah.
Tabik,
Ahmad Fahrizal Aziz