Kontestasi Pemilu 2024 di Depan Mata, Dimana Posisimu?

Mustakim Blitar

Suasana menjelang pemilu terutama saat-saat penentuan pasangan capres-cawapres memang menjadi topik yang hangat di masyarakat. Begitu pula di kalangan warga Muhammadiyah.

Dari tingginya antusiasme warga grup membahas masalah politik dan capres, mohon izin menulis masalah ini agak panjang.

Bagi yang cocok njenengan boleh saja mengacungkan jempol dan bagi yang tidak cocok boleh juga menyanggah atau membuly. Bagi yang tidak tertarik bahasan ini silahkan diabaikan atau dihapus.

Ada dua hal yang trending dibahas di grup WhatsApp kalangan warga persyarikatan. Pertama, terkait diaspora politik kader Muhammadiyah. Kedua, tentang capres-cawapres. Pembicaraan tema yang kedua tampaknya lebih banyak diminati.

Bukan hal baru bahwa aspirasi politik sebagian besar warga Muhammadiyah dalam pilpres masih konsisten dengan kecenderungan memilih calon presiden berdasarkan prinsip / idealisme religius. Tanpa menyebut nama pun kita tahu siapa sosok yang dianggap sesuai kriteria tersebut dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.

Tidak peduli menang atau kalah, keberpihakan dan pembelaan pada capres sesuai idealisme dalam pilpres menjadi hal fundamental. Dari pengalaman yang sudah berlalu mungkin lebih sering kalahnya. He… he…

Baca Juga :  Kenapa Harus Memilih? Sebuah Narasi Pencerahan

Hebatnya, selain rasa optimis yang terus dibangun untuk menjaga asa bagi capres idaman bisa menang, kadang muncul juga rasa pesimis melihat kondisi dan perkembangan yang ada. Kemudian sebagian dari kita menguatkan diri dengan menetapkan hati “yang terpenting jelas dimana kita berpihak sehingga mempertanggungjawabkannya di yaumil akhir“.

Akhir-akhir ini, seiring munculnya wacana diaspora politik kadermu maka muncul respon beberapa warga Muhammadiyah yang tertarik terjun di dunia politik mulai menyebar ke berbagai parpol. Memanfaatkan lebar lapangan pertandingan politik dan tidak hanya bergerombol di sudut tertentu saja.

Diaspora politik kadermu juga memanfaatkan arena khusus jalur capres-cawapres. Yaitu dengan bergabung / mendekat ke capres tertentu. Meskipun tidak menjadi pemain utama, setidaknya mereka turut menjadi pemain di lapangan politik.

Fenomena ini kemudian menjadi tema pembicaraan yang tampaknya belum segera habis hingga saat ini, mungkin sampai pemilu. Ikhtiar terjun ke lapangan yang memiliki konsekuensi menang atau kalah sekaligus konsekuensi mendapat komentar dari warga yang duduk di kursi penonton.

Baca Juga :  Islam Transformatif Sebagai Paradigma Memajukan Umat Islam

Menarik sekaligus memprihatikannnya, bila ada kader politik mendekat ke capres tertentu yang tidak sesuai idealisme, sebagian kecil kita akan segera mengkritisi, menyesalkan bahkan mungkin berpersepsi negatif dengan cap transaksional atau mencari keuntungan materi semata. Sementara bila ada kader mendekat ke capres tertentu yang sesuai idealisme maka kita bersegera mengungkapkan ‘cocok’ dan ‘inilah kader yang masih lurus’. Dalam dinamika perbedaan ini, berita hoax kadang juga menjadi bumbu yang ikut kita konsumsi.

Disinilah kemudian muncul dilema antara mempraktekkan wacana diaspora politik kadermu dengan idealisme. Beberapa kader persyarikatan menjadi caleg dari parpol yang tidak ikut mengusung capres yang diidamkan.

Belajar dari sejarah, perkembangan politik memang terus berubah. Dulu diawal kemerdekaan, dunia politik Indonesia dihiasi dengan warna yang jelas secara ideologi. Nama Partai secara langsung sudah mencerminkan apakah Islam, abangan, komunis dan lainnya. Sehingga setiap pemilih dapat dengan mudah menentukan aspirasi politik sesuai dengan ideologinya.

Perubahan lalu terjadi dengan era fusi parpol menjadi 3 partai di masa orde baru dan munculnya asas tunggal dan perubahan terjadi kembali dengan era multi partai setelah masa reformasi dan terus terjadi perubahan hingga saat ini, zaman dimana ada kemungkinan partai bernafas Islam mengusung/mendukung capres dari kaum sekuler, abangan dan sebaliknya.

Baca Juga :  Investasi tanpa Nurani, Meninjau Tragedi Pulau Rempang

Ada yang berpendapat kondisi yang berubah kadang menuntut strategi juga berubah. Tetapi perubahan kondisi dan strategi tidak boleh mengubah prinsip.

Apakah diaspora politik kadermu merupakan strategi untuk menjawab perubahan itu? Tentu saya tidak punya kapasitas menjawabnya.

Lalu, bagaimana harus bersikap terhadap calegmu yang parpolnya tidak mendukung/mengusung capres idaman? Jawaban tidak konkretnya adalah “warga Muhammadiyah sudah cerdas dalam berpolitik”.

Tulisan ini mungkin tidak berpengaruh apapun karena ditulis oleh orang yang awam politik tetapi ngelantur membahas politik di pagi hari.

Setidaknya dengan tulisan ini, meskipun hanya menjadi bagian yang berderet di bangku penonton. Kita menjadi penonton dan komentator yang sedikit paham permainan dan menikmatinya sambil makan camilan yang dibawa sendiri. He.. he…

Ditulis Oleh. Mustakim, S.Pd
Wakil Ketua PDM Kota Blitar
Editor: Rozak Al-Maftuhin

Bagikan ke:

Recommended For You

About the Author: Majelis Pustaka dan Informasi

Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) merupakan Badan Pembantu Pimpinan yang membidangi informasi, publikasi, dan digitalisasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Blitar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *