Islam Transformatif Sebagai Paradigma Memajukan Umat Islam

Rozak Islam Transformatif

Blitarberkemajuan.id – Menyoal tentang Islam rasanya memang tidak akan pernah ada habisnya. Termasuk bagi kaum muslimin itu sendiri. Dan salah satu pembahasan menariknya ialah berkutat tentang peradaban Islam yang semakin ke sini ­dirasa semakin mundur.

Benar saja, jika diamati lebih lanjut persoalan itu bahkan sampai pada mimbar-mimbar para khotib dan kajian-kajian para Da’i. Begitu bersemangatnya mereka memunculkan diskursus ini. Tentunya dengan harapan jamaah yang hadir turut andil dalam upaya memajukan peradaban Islam.

Mengapa Umat Islam Semakin Mundur?

Sebenarnya, pertanyaan terkait kemunduran umat Islam bukanlah hal baru. Pada tahun 1929 kegundahan tentang kondisi umat Islam yang semakin memprihatikan sudah dilayangkan oleh Syaikh Muhammad Basyuni Imran. Bukan sekedar gumaman, pertanyaan itu bahkan diajukan kepada Syaikh Rasyid Ridho, cendekiawan muslim di Mesir.

Atas dasar pertanyaan itu, Syaikh Rasyid Ridho kemudian mengirimkan ulang kepada Syaikh Syakib Arsalan, seorang cendekiawan muslim asal Lebanon. Mendapati pertanyaan yang menarik, Syaikh Syakib Arsalan kemudian menuliskan jawabannya melalui Al-Manar secara berseri.

Pada tahun 1940, Syaikh Rasyid Ridho kemudian menyusun seri-seri itu menjadi sebuah buku, yang diberi judul: Limadza Ta’akhara al Muslimun, Wa Limadza Taqoddama Ghoiruhum. Mengapa Kaum Muslim Mundur dan Kaum Selainnya Maju, begitulah jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Baca Juga :  Baitul Arqam di Hotel, Terlalu Mewah?

Dalam buku tersebut, ada 13 faktor yang disebutkan oleh Syaikh Syakib Arsalan menjadi pemicu mundurnya umat Islam. Salah satu di antaranya, Islam hanya dianggap sebagai agama akhiat saja dengan mengabaikan manifestasi kehidupan di dunia.

Betapa banyak umat Islam–mungkin kita termasuk salah satunya–yang hanya berkutat pada ibadah ritual tanpa amalan aktual. Mungkin, shalat yang kita kerjakan sebatas rutinitas di tempat sujud, namun dalam praktik sosial esensi shalat sama sekali tidak membekas.

Islam Transformatif Sebagai Paradigma Memajukan Umat Islam

Saya berkeyakinan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna, pun memiliki konsep atau ajaran sempurna untuk para pemeluknya. Sehingga redaksi yang digunakan pada tulisan ini mengkerucut pada ‘umat Islam’ sebagai nomenklatur pembahasan. Korelasinya, ialah tentang bagaimana umat Islam menafsirkan dan mengejawantahkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Kembali pada salah satu penyebab mundurnya umat Islam di segala lini kehidupan, ada salah satu gagasan menarik yang dikemukakan oleh Moeslim Abdurrahman. Konsepsi itu disebut Islam Transformatif.

Baca Juga :  Kenapa Harus Memilih? Sebuah Narasi Pencerahan

Menyambung pemasalahan umat yang disebut Syaikh Syakib Arsalan, Islam Transformatif menawarkan sebuah konsep bagaimana Islam benar-benar dijadikan sebagai problem solving, penyelesai masalah di segala lini kehidupan manusia.

Gagasan Kang Moeslim sejatinya berangkat dari kritik terhadap kalam tradisional yang masih berkutat pada skolatisisme. Hal mana ciri khas yang masih melekat hingga saat ini, terkait pola fikih-sentrisme. Dengan asumsi, setiap pola pikir dan gerak manusia harus dilabeli ‘benar-salah’, ‘halal-haram’, dan ‘pahala-dosa.’

Sementara itu, realitas sosial yang ada sangatlah memprihatinkan. Kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial seolah bukan menjadi hal prioritas untuk diperhatikan dan dipecahkan. Padahal, menurut Kang Moeslim, esensi agama Islam ialah tentang bagaimana kita menjadikan luhur harkat dan martabat manusia.

Dalam paradigma Islam Transformatif, baik ajaran Islam (dasar-dasar) yang bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah, maupun yang sudah diterjemahkan menjadi ritualitas ibadah harus memiliki korelasi dan spirit menyelesaikan masalah keumatan. Artinya, ritualitas ibadah yang semula ranah privat harus dimanifestasikan dalam wujud amal sholih sosial.

Analogi sederhananya, terkait shalat. Bukankah ketika kita shalat, kita bertakbir memuji kebesaran Allah kemudian bersujud merendahkan dan menghinakan diri kita di hadapan-Nya? Maka, ketika kita beranjak dari tempat sujud, kembali pada kehidupan sosial, jangan sampai muncul hasrat jumawa kemudian mengkerdilkan orang lain yang kita anggap kecil. Sehingga muncul hasrat menjadikan hegemoni kekuasaan sebagai praktik penindasan terhadap yang lemah dan menyuburkan keserakaan.

Baca Juga :  Kontestasi Pemilu 2024 di Depan Mata, Dimana Posisimu?

Sebelum shalat jamaah dimulai, imam kerap mengingatkan jamaah untuk meluruskan dan merapatkan shaf-shaf shalat, juga menutup shaf yang kosong. Yang apabila diejawantahkan, kita diharuskan untuk memupuk spirit persatuan dan kepedulian terhadap sesama. Bagaimana mungkin kita bisa tidur pulas, ketika mendapati tetangga kita kesulitas tidur karena lapar.

Paradigma Islam Transformatif, sejatinya bermuara pada suatu misi perubahan sosial. Yang meletakkan Islam sebagai ajaran sekaligus spirit pencerahan dalam kehidupan secara menyeluruh. Sehingga umat Islam tidak lagi berkutat pada “Bagaimana ibadahmu?”, tetapi “Sudahkah ibadahmu berimplikasi terhadap realitas sosialmu?”.

Jika spirit Islam Transformatif ini sudah melekat dalam sanubari kaum muslimin, kemudian dimanifestasikan dalam perwujudan yang nyata, bukan mustahil kemajuan Islam bisa kembali kita hadirkan. Wallahu a’lam bishawab.

——

Ditulis oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin, S.Pd.I
Corps Mubaligh Muhammadiyah (CMM) Kota Blitar

Bagikan ke:

Recommended For You

About the Author: Majelis Pustaka dan Informasi

Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) merupakan Badan Pembantu Pimpinan yang membidangi informasi, publikasi, dan digitalisasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Blitar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *